Entri Populer

Sabtu, 30 Agustus 2014

GEGER GALUNGGUNG : BATARA DANGHIYANG GURU SEMPAKWAJA


Dimulai pada abad ke VII sampai abad ke XII di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Tasikmalaya, terdapat Pemerintahan Kebataraan di sekitar Gunung Galunggung dengan ibukotanya adalah Rumatak. Kebataraan ini cukup istimewa yaitu dengan memiliki kekuasaan “mengabisheka raja-raja Galuh” atau dengan kata lain Raja Galuh baru dianggap syah bila mendapat persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung. Selain itu, Kebataraan ini memberikan amanah yang dikenal dengan Amanah Galunggung, yang isinya memperingatkan kepada raja-raja beserta rakyat (yang menghormati Kebataraan Galunggung) agar setia memelihara kabuyutan (daerah yang dianggap sebgai tempat suci dan ditetapkan sebagai pusat pendidikan). Artinya, apabila tempat suci sudah terjamah musuh, berarti kerajaan sudah runtuh. Salah satu isi dari Amanah Galunggung tersebut adalah mengenai tapa (Kropak 632), yaitu :

...na urang lanang wadwan, iya twah iya tapa, iya twah na urang, gwareng twah gwareng tapa, maja twah maja tapa, rampes twah waya tapa, apana urang ku twah na man beunghar ku twah na mana waya tapa....

“... bagi kita, pria dan wanita, ya beramal ya bertapa, itulah perbuatan kita. Buruk amalnya berarti buruk tapanya, sedang amalnya berarti sedang tapanya, sempurna amalnya berarti berhasil tapanya. Adapun kita ini, karena amallah dapat menjadi kaya, karena amal pula berhasil tapa kita…..”

Selain bersifat Kebataraan, Galunggung juga membawahi sekitar 12 kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya. Diantara kerajaan-kerajaan bawahannya itu, yang cukup terkenal adalah Kerajaan Kuningan, Kerajaan Kajaron, dan Kerajaan Kalanggara.

Batara / sesepuh yang memerintah di Kerajaan Galunggung antara lain :

BATARA  DANGHIYANG  GURU  SEMPAKWAJA (sampai tahun 729)
Dilahirkan pada tahun 620, beliau merupakan putera sulung Wretikandayun (raja Galuh pertama).  Nama asli beliau tidak diketahui, tetapi kemudian terkenal dengan nama  Sempakwaja dikarenakan giginya ompong. Karena giginya yang ompong, maka Sempakwaja gagal menjadi penerus Kerajaan Galuh dan akhirnya mendirikan Kerajaan Galunggung.
Beliau memiliki permaisuri bernama Pohaci Rababu (berasal dari pertapaan Kendan). Dari pernikahannya itu, Sempakwaja memiliki dua orang putera, yaitu :

1.  Purbasora, lahir tahun 643 kemudian merebut tahta Galuh.
2.  Demunawan, lahir tahun 646.

Di tahun 661, permaisurinya melahirkan seorang anak laki-laki hasil hubungan gelapnya dengan adik Sempakwaja yang bernama Amara, dan kemudian anak tersebut diurus oleh Amara serta diberi nama Bratasenawa. Namun Batara Danghiyang Guru Sempakwaja, merupakan orang yang begitu sabar dan sangat mencintai istrinya itu, sehingga dia tetap mau menerima Pohaci Rababu sebagai istri walaupun dia telah berselingkah dengan adiknya sendiri. 

Pada saat Purbasora merebut tahta Galuh dari Bratasenawa, dan kemudian tahta tersebut direbut kembali oleh Sanjaya (anak Bratasenawa), Sempakwaja merasa sakit hati kepada Sanjaya yang kala itu memerintah di Kerajaan Sunda. Sejak kejadian itu, Sempakwaja menyerahkan wilayah Galunggung beserta kerajaan-kerajaan dibawahnya kepada Demunawan (anaknya yang ditunjuk menjadi raja Kerajaan Kuningan) untuk bergabung menjadi satu dalam rangka menandingi kerajaan Sunda-Galuh. Suasana panas tak terelakan lagi, dimana antara Kerajaan Kuningan dan Sunda-Galuh selalu berada dalam posisi sama-sama panas. Untungnya, kerajaan-kerajaan yang masih bersaudara itu segera mengakhiri perselisihannya dengan damai.

Danghiyang Guru Sempakwaja wafat pada usia 109 tahun tepatnya di tahun 729. Pada tahun wafatnya itu, keadaan di bagian timur dari barat Jawa sudah dalam masa perdamaian.

Setelah Danghiyang Guru Sempakwaja wafat, Kebataraan Galunggung di bawah kekuasaan Kerajaan Kuningan diperintah oleh Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, dan Batara Wastuhayu.

Masa kekuasaan dari 3 raja tersebut belum diketahui jalan sejararahnya, hingga muncul kembali pada sekitar tahun 1111, di masa akhir kekuasaan dari Resiguru Sudakarmawisesa.

RESIGURU  SUDAKARMAWISESA  (sampai tahun 1111)

            Beliau memiliki permaisuri yang bernama Dewi Citrawati (puteri ke-2 dari Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya / anak Sri Jayabhupati). Setelah menikah dengan Dewi Citrawati, beliau menyerahkan tahta Kebataraan Galunggung pada permaisurinya  itu, sedangkan beliau sendiri memilih jalan hidup untuk mendalami keagamaan.

DEWI CITRAWATI  (1111 - 1152)

Setelah Resiguru Sudakarmawisesa turun tahta dari Kebataraan Galunggung, kedudukannya digantikan oleh Dewi Citrawati yang bergelar Batari Hyang Janapati yang berfungsi sebagai raja daerah / kerajaan bawahan Sunda.
Sebelum Dewi Citrawati menikah dengan Resiguru Sudakarmawisesa, beliau sangat menginginkan untuk menjadi pendamping dari Prabu Langlangbumi (raja Sunda ke-22). Namun hasratnya itu tidak kesampaian, karena sang raja Sunda tersebut telah menikah dengan kakak kandungnya Dewi Citrawati.
Karena itulah, setelah Dewi Citrawati berkuasa di Galunggung, beliau sangat membenci pada kekuasaan Prabu Langlangbumi di Kerajaan Sunda.
Wilayah pedalaman yaitu desa antara Galuh, Sunda, dan Galunggung saat itu sering terjadi perampokan. Daerah rawan tersebut dijadikan konflik antara Galunggung dan Sunda semakin memanas. Dewi Citrawati mungkin menganggap, Prabu Langlangbumi, sebagai raja Sunda yang berkuasa atas 3 kerajaan (Galuh-Galunggung-Sunda) tidak mampu mengatasi gangguan perampok tersebut.

Peristiwa yang semakin memanas itu, membuat Dewi Citrawati selalu cemas dalam menjalankan pemerintahannya. Beliau takut apabila terjadi serangan dari Kerajaan Sunda, karena biar bagaimana pun, Kebataraan Galunggung masih teralu lemah untuk menghadapi Kerajaan Sunda. Meskipun demikian, Dewi Citrawati tetap merasakan dendam kepada Prabu Langlangbumi yang telah mengacuhkan cintanya.

Untuk mencegah adanya serangan dari Kerajaan Sunda, Dewi Citrawati membentuk angkatan perang, membangun parit pertahanan yang kuat.  Agar lebih menguatkan stabilitas pertahanan kota, maka “bentuk pemerintahan” Galunggung mengalami perubahan bentuk dari Kebataraan menjadi Kerajaan. Pusat Kerajaan Galunggung dijadikan sebagai ibukota Kerajaan Galuh. Dengan demikian, saat itu kerajaan Galuh dan Kerajaan Galunggung bersatu untuk mengimbangi kekuasaan dari Kerajaan Sunda.

Pada tanggal  21  Agustus  1111,  tepat setelah membangun ibukota baru, Dewi Citrawati membuat sebuah prasasti di lereng Gunung Galunggung, tepatnya di bukit Geger Hanjuang / kabuyutan Linggawangi (sekarang Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya). Prasasti tersebut kemudian disebut sebagai prasasti Geger Hanjuang dan menjadi koleksi Museum Pusat Jakarta. Pada prasasti tersebut, Dewi Citrawati / Batari Hiyang Janapati menuliskan :

tra ba i gune apuy na-
sta gomati sakakala rumata-
k disusu(k) ku batari hyang pun
“Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka, Rumatak disusuk oleh Batari Hyang”

Dewi Citrawati membuat sebuah ajaran yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksakanda ng Karesian. Ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada jaman Kerajaan Pajajaran (penerus Kerajaan Sunda) yang ber ibukota di Pakuan.

Prabu Langlangbumi yang sebenarnya tidak berniat untuk menyerang Galunggung, akhirnya mengajukan penawaran damai. Melalui perundingan damai di tahun 1152, dicapai kesepakatan yang menyebutkan bahwa wilayah barat Jawa kembali dipecah menjadi 2 bagian, yaitu Kerajaan Sunda di sebelah barat dan Kerajaan Galuh disebelah timur beribukota pusat kota Galunggung, dengan dipimpin oleh Dewi Citrawati. Dengan demikian, Dewi Citrawati memimpin 2 kerajaan yaitu Galuh dan Galunggung.

Pada tahun 1152, untuk mengurus pemerintahan sehari-hari di Kerajaan Galunggung, Dewi Citrawati menobatkan puteranya yang bernama Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa sebagai pemegang kekuasaan Galunggung.

BATARA DANGHIYANG GURU DARMAWIYASA (1152 – 1157)

            Beliau menjadi raja daerah Galunggung dibawah kekuasaan Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh ibunya.

            Batara Danghiyang Guru Darmawiyasa mempunyai putera yang bernama Prabu Darmakusuma dan Adimurti, putera sulungnya kemudian menjadi penerus kerajaan Sunda setelah menikah dengan Ratna Wisesa (puteri Prabu Menakluhur / raja Sunda ke-23).
           
Di tahun 1157, Prabu Darmasiksa dinobatkan sebagai raja Sunda, maka kekuasaan Galuh kembali berada di bawah kekuasaan Sunda, dengan demikian otomatis Galunggung pun menjadi bawahan Sunda.
Raja-raja selanjutnya Kerajaan Galunggung belum ditemukan datanya, tetapi sekitar abad ke 15, sejarah kembali mencatat raja-raja yang berkuasa disini.

SRI GADING ANTEG

Sri Gading Anteg, diperkirakan masa kekuasaannya  sejaman dengan Prabu Jayadewata (Prabu Siliwangi). Diperkirakan juga, Kerajaan Galunggung saat itu berada dalam kekuasaan Pajajaran.
Sejarah penting yang tercatat pada masa pemerintahannya ini adalah perpindahan ibukota kerajaan dari Rumatak ke Dayeuh Tengah atau disebut juga Sukakerta (sekarang termasuk Kecamatan Salopa, Tasikmalaya).

DALEM SUKAKERTA

Sebagai penerus tahta dari Sri Gading Anteg, Dalem Sukakerta diperkirakan sejaman dengan Prabu Surawisesa (Raja Pajajaran yang menggantikan Prabu Siliwangi). Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa kedudukan Pajajaran sudah mulai terdesak oleh gerakan kerajaan Islam yang dipelopori oleh Cirebon dan Demak. Ketika Pajajaran  mulai lemah, daerah-daerah kekuasaannya terutama yang terletak di bagian timur berusaha melepaskan diri, termasuk Kerajaan Galunggung.
Saat itu, agama yang dianut oleh penduduk Galunggung adalah agama Islam dikarenakan peranan daripada Sunan Gunung Jati (sultan Cirebon) yang sangat aktif menyiarkan agama Islam ke seluruh Tatar Pasundan.

DALEM SENTAWOAN / PRABU  RAJADIPUNTANG

Dalem Sentawoan sudah menjadi penguasa Kerajaan Galunggung yang merdeka (lepas dari Pajajaran). Lepasnya kerajaan Galunggung dari tangan Kerajaan Pajajaran, membuat Prabu Surawisesa mengerahkan pasukannya untuk merebut kembali Galunggung pada tahun 1520-an. Menghadapi serangan itu, Prabu Rajadipuntang sebagai raja Galunggung kemudian menyingkir ke arah daerah Linggawangi. Sejak peristiwa itu, tamatlah riwayat kerajaan Galunggung.

Sementara itu, untuk menyelamatkan harta pusaka kerajaan, Prabu Rajadipuntang mengamanatkan harta pusaka tersebut pada anak bungsunya yang bernama Sembah Dalem Singaparana. Untuk melaksanakan tugas itu, Singaparana dibekali ilmu oleh ayahnya yaitu ilmu yang membuat dirinya bisa nyumput buni dina caang (bersembunyi di keramaian).

Sembah Dalem Singaparna kemudian membuka pemukiman baru diantara dua buah bukit dan di sisi Sungai Ciwulan (sekarang masuk kedalam Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya). Saat itu wilayah pemukiman tersebut masih berupa hutan yang diyakini dihuni oleh roh-roh jahat (dedemit), kemudian melalui ilmu yang dimilikinya, Sembah Dalem Singaparna memindahkan dedemit itu ke hutan yang berada di seberang sungai Ciwulan (bagian timur pemukiman yang didirikannya, kemudian hutan tersebut disebut Leuweung Larangan). Leuweung Larangan merupakan tempat yang sama-sekali dilarang untuk diinjak oleh siapa pun (khususnya bagi penduduk disitu). Jangankan memasukinya, menginjakkan sebelah kakinya di hutan tersebut merupakan pantangan yang sangat keras.

Pemukiman yang didirikan itu kemudian dikenal dengan sebutan Kampung Naga, yang penduduknya merupakan keturunan dari Sembah Dalem Singaparna. Penduduk kampung Naga sampai saat ini merupakan masyarakat Muslim yang secara ketat masih menjadikan adat Sunda sebagai rujukan kehidupannya. Sebagai masyarakat yang berpola agraris, hitungan waktu mereka merujuk pada hitungan sistem hijriah, namun disisipkan dengan kepercayaan lokal mengenai kekuatan kala (makhluk halus yang menempati horison langit) yang dipercaya selalu berpindah-pindah dan posisinya dalam menentukan curah hujan.

Mereka membuat delapan kategori tahun, dengan kategori yang dikenal dalam penanggalan Islam sufi yaitu: tahun alif, tahun he, jim awal, ze, dal, be, wau, dan jim ahir; sekaligus juga memercayai adanya Dewa-dewa Diktekapata, Somamarocita, Angarakata, Budhaintuna, Laspatimariha, Sukramangkara, dan Tumpekmindo. Nama-nama dewa itu bukan untuk disembah, namun diabstraksikan karakternya dan dijadikan pedoman dalam cara bercocok tanam.

Selain itu, di wilayah barat pemukiman, terdapat Leuweung Keramat yang merupakan tempat nenek moyang masyarakat Kampung Naga dimakamkan. Posisi perkampungan tidak secara langsung berhubungan dengan kedua hutan tersebut. Leuweung Larangan dibatasi oleh sebuah Sungai Ciwulan, sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh masjid, ruang pertemuan dan Bumi Ageung (tempat penyimpanan harta pusaka).

PERKEMBANGAN  SELANJUTNYA  WILAYAH  GALUNGGUNG

Di masa ini,  wilayah Priangan  sedang mengalami masa pergolakan yang berlangsung lebih kurang 10 tahun. Munculnya pergolakan ini sebagai akibat persaingan tiga kekuatan besar di Pulau Jawa pada awal abad XVII, yaitu Mataram, Banten, dan VOC yang berkedudukan di Batavia. Dampak dari pergolakan ini adalah terambilnya wilayah Galunggung oleh Kekuasaan Mataram.

Wirawangsa sebagai penguasa daerah wilayah Galunggung akhirnya mau tak mau untuk ikut berperan serta membantu Mataram dalam membasmi pemberontakan Dipati Ukur (bupati Priangan yang membangkang kepada kekuasaan Mataram). Setelah Wirawangsa berhasil membasmi pergerakan Dipati Ukur, akhirnya dia diangkat menjadi Bupati daerah Sukapura yang pertama pada tanggal 20 April 1541 oleh Sultan Agung Mataram sebagai hadiah atas jasa-jasanya. Akhirnya ibukota negeri yang awalnya di Sukakerta, kemudian dipindah ke Leuwiloa Sukaraja dan nama wilayahnya disebut Sukapura.

Jumat, 29 Agustus 2014

APA ITU RUQYAH?


Apa itu pengobaan Ruqyah? Buat sebagian orang mungkin asing bahkan tidak mempercayainya. Narasumber kami, Ki Bintang, memberikan penjelasan seperti di bawah ini.

Ruqyah menurut bahasa adalah bacaan atau mantra.

Sedangkan menurut Syariat Islam, ruqyah adalah bacaan yang terdiri dari himpunan ayat-ayat al-Qur’an dan hadist yang shahih untuk memohon kepada Allah akan kesembuhan orang sakit.

Ruqyah dipakai untuk penjagaan diri dan pengobatan. Setiap muslim harus menjaga dirinya dari gangguan mahkluk Allah: baik manusia, binatang, maupun gangguan jin dan syaitan. Rasulullah Saw lakukan membaca Fatihah, Al-Baqarah:1-5, Al-Baqarah:255-257 (ayat Kursi & 2 ayat sesudahnya),  Al Baqarah:285-286, Al-Ikhlas, surat Al-Falaq dan surat An-Naas, dan doa-doa lainnya diwaktu pagi dan petang untuk perlindungan dan pengobatan, dapat dilakukan sendiri maupun orang lain (peruqyah).

“Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku” (QS. Asy-Syu’ara:80),

“ Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Al-Isra’:82),

Sabda Rasulullah SAW: “ Obatilah ia (si sakit) dengan Al-Qur’an” (HR.Ibnu Hibban, no.1419)

Ada dua jenis ruqyah, yaitu:

1. Ruqyah Syar’iyyah (Ruqyah yang dibolehkan yang sesuai dengan Syari’at Islam), Yaitu: bacaan yang terdiri dari himpunan ayat-ayat al-Qur’an, Asma`ul-husna, do`a-do`a yang berasal dari Al-Quran dan hadist yang shahih dengan memohon kepada Allah untuk kesembuhan. Nabi mengizinkan ruqyah dengan Al-quran, dzikir-dzikir dan do`a-do`a selama tidak mengandung syirik atau perkataan yang tidak bisa dimengerti maknanya. Berdasarkan hadist di bawah ini:

Dari `Auf Bin Malik Ia berkata Kami meruqyah di masa jahiliyyah lalu kami berkata: “Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapat Anda tentang hal itu?` 

Beliau menjawab Perlihatkanlah ruqyah kalian kepadaku. Tidak mengapa melakukan ruqyah selama tidak mengandung syirik.”

2.      Ruqyah Syirkiyyah (Ruqyah yang diharamkan, yaitu ruqyah yang mengandung unsur syirik),dan Islam melarang ruqyah dengan bantuan dukun, sihir, jin dan cara-cara lain seperti benda pusaka, jimat, keris, batu-batu berkhasiat dan lain sebagainya dan dengan mantra / bacaan yang tidak jelas makna dan dalilnya serta jelas-jelas bertentangan dengan Islam, maka menurut syariat Islam hal tersebut diharamkan dan termasuk perbuatan musyrik, serta dosa besar, firman Allah:

Sungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan DIA mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-NYA” (QS. An-Nisaa: 48, 116)

 “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa. Maka Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi:110)

BOLEHKAH ONANI??


Masalah yang berkaitan dengan onani atau dalam bahasa arabnya disebut istimna` banyak dibahas oleh para ulama. Sebagian besar ulama mengharamkannya namun ada juga yang membolehkannya.


1. Yang mengharamkan

Umumnya para ulama yang mengharamkan onani berpegang kepada firman Allah SWT :

"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas." (Al-Mu'minun: 5-7).

Mereka memasukkan onani sebagai perbuatan tidak menjaga kemaluan.
Dalam kitab Subulus Salam juz 3 halaman 109 disebutkan hadits yang berkaitan dengan anjuran untuk menikah :

Rasulullah SAW telah bersabda kepada kepada kami,"Wahai para pemuda, apabila siapa diantara kalian yangtelah memiliki baah (kemampuan) maka menikahlah, kerena menikah itu menjaga pandangan dan kemaluan. Bagi yang belum mampu maka puasalah, karena puasa itu sebagai pelindung. HR Muttafaqun `alaih.

Di dalam keterangannya dalam kitab Subulus Salam, Ash-Shan`ani menjelaskan bahwa dengan hadits itu sebagian ulama Malikiyah mengharamkan onani dengan alasan bila onani dihalalkan, seharusnya Rasulullah SAW memberi jalan keluarnya dengan onani saja karena lebih sederhana dan mudah. Tetapi Beliau malah menyuruh untuk puasa.

Sedangkan Imam Asy-Syafi`i mengharamkan onani dalam kitab Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro jilid 7 halaman 199 dalam Bab Onani ketika menafsirkan ayat Al-Quran surat Al-Mukminun ...Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya.
Begitu juga dalam kitab beliau sendiri Al-Umm juz 5 halaman 94 dalam bab Onani.

Imam Ibnu Taymiyah ketika ditanya tentang hukum onani beliau mengatakan bahwa onani itu hukum asalnya adalah haram dan pelakunya dihukum ta`zir, tetapi tidak seperti zina.

Namun beliau juga mengatakan bahwa onani dibolehkan oleh sebagian shahabat dan tabiin karena hal-hal darurrat seperti dikhawatirkan jatuh ke zina atau akan menimbulkan sakit tertentu. Tetapi tanpa alasan darurat, beliau (Ibnu Taymiyah) tidak melihat adanya keringanan untuk memboleh onani.

2. Yang membolehkan

Diantara para ulama yang membolehkan istimna` antara lain Ibnu Abbas, Ibnu Hazm dan Hanafiyah dan sebagian Hanabilah.

Ibnu Abbas mengatakan onani lebih baik dari zina tetapi lebih baik lagi bila menikahi wanita meskipun budak.

Ada seorang pemuda mengaku kepada Ibnu Abbas,"Wahai Ibnu Abbas, saya seorang pemuda dan melihat wanita cantik. Aku mengurut-urut kemaluanku hingga keluar mani".
Ibnu Abbas berkata,"Itu lebih baik dari zina, tetapi menikahi budak lebih baik dari itu (onani).

Mazhab Zhahiri yang ditokohi oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla juz 11 halaman 392 menuliskan bahwa Abu Muhammad berpendapat bahwa istimna` adalah mubah karena hakikatnya hanya seseorang memegang kemaluannya maka keluarlah maninya. Sedangkan nash yang mengharamkannya secara langsung tidak ada.

Sebagaimana dalam firman Allah : "Dan telah Kami rinci hal-hal yang Kami haramkan" Sedangkan onani bukan termasuk hal-hal yang dirinci tentang keharamannya maka hukumnya halal. Pendapat mazhab ini memang mendasarkan pada zahir nash baik dari Al-Quran maupun Sunnah.

Sedangkan para ulama Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah)dan sebagian Hanabilah (pengkikut mazhab Imam Ahmad) -sebagaimana tertera dalam Subulus Salam juz 3 halaman 109 dan juga dalam tafsir Al-Qurthubi juz 12 halaman 105- membolehkan onani dan tidak menjadikan hadits ini tentang pemuda yang belum mampu menikah untuk puasa diatas sebagai dasar diharamkannya onani. Berbeda dengan ulama syafi`iah dan Malikiyah. Mereka memandang bahwa onani itu dibolehkan. Alasannya bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti memotong daging lebih.

Namun sebagai cataan bahwa ada dua pendapat dari mazhab Hanabilah, sebagian mengharamkannya dan sebagian lagi membolehkannya. Bila kita periksa kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ibni Hanbal juz 4 halaman 252 disebutkan bahwa onani itu diharamkan.

Ulama-ulama Hanafiah juga memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara:

1. Karena takut berbuat zina.

2. Karena tidak mampu kawin.

Pendapat Imam Ahmad memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan keinginan seksual itu memuncak dan dikawatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang pemuda yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia kawatir akan berbuat zina. Karena itu dia tidak berdosa menggunakan cara ini (onani) untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut dan supaya dia tidak berlaku congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat.

Tetapi yang lebih baik dari itu semua, ialah seperti apa yang diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. terhadap pemuda yang tidak mampu kawin, yaitu kiranya dia mau memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat mendidik beribadah, mengajar bersabar dan menguatkan kedekatan untuk bertaqwa dan keyakinan terhadap penyelidikan (muraqabah) Allah kepada setiap jiwa seorang mu'min.

Untuk itu Rasuluilah s.a.w. bersabda sebagai berikut:

"Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah ada kemampuan, maka kawinlah sebab dia itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan; tetapi barangsiapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu baginya merupakan pelindung." (Riwayat Bukhari).

Sedangkan dari sisi kesehatan, umumnya para dokter mengatakan bahwa onani itu tidak berbahaya secara langsung. Namun untuk lebih jelasnya silahkan langsung kepada para dokter yang lebih menguasai bidang ini.

SEKS MENURUT ISLAM : Oral Seks Dan Posisi 69




Bismillahirrahmanirrahim.

Hubungan seksual antara pasangan suami istri bukanlah hal yang terlarang untuk dibicarakan didalam Islam. Namun, bukan pula hal yang dibebaskan sedemikian rupa bak layaknya seekor hewan yang berhubungan dengan sesamanya.

Hubungan seks yang baik dan benar, yang tidak melanggar syariat selain merupakan puncak keharmonisan suami istri serta penguat perasaan cinta dan kasih sayang diantara mereka berdua maka ia juga termasuk suatu ibadah disisi Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah saw,

”..dan bersetubuh dengan istri juga sedekah. Mereka bertanya,’Wahai Rasulullah, apakah jika diantara kami menyalurkan hasrat biologisnya (bersetubuh) juga mendapat pahala?’ Beliau menjawab,’Bukankah jika ia menyalurkan pada yang haram itu berdosa?, maka demikian pula apabila ia menyalurkan pada yang halal, maka ia juga akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)

Islam memandang seks sebagai sesuatu yang moderat sebagaimana karakteristik dari islam itu sendiri. Ia tidaklah dilepas begitu saja sehingga manusia bisa berbuat sebebas-bebasnya dan juga tidak diperketat sedemikian rupa sehingga menjadi suatu pekerjaan yang membosankan.

Pertanyaan tentang Jima’ dengan cara oral seks selalu menjadi primadona selama ini. Apakah tabu atau tidak. Tahukah Anda bahwa dalam Islam sebelum melakukan hubungan seks, kita dianjurkan untuk melakukan foreplay (mula’abah) atau permainan pendahuluan?

Ini dianjurkan agar hubungan seksual yang dilakukan tidak menyerupai hubungan seksual yang dilakukan oleh binatang. Tanpa pemanasan. Sehingga diharapkan tidak ada pihak yang tersakiti. Dan sangat diharapkan kedua belah pihak untuk bisa menikmatinya. Salah satu bentuk foreplay dalam pengetahuan seksualitas modern yaitu tadi oral seks, atau mencium farj (kemaluan) pasangan baik istri kepada suaminya ataupun sebaliknya. Dan lebih ‘ekstrim’ lagi yaitu dengan oral seks dengan posisi 69.

Lalu bagaimana kita menyikapi hal tersebut?
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi masalah tersebut (oral seks). Ada yang membolehkan, namun ada yang memakruhkan dan condong untuk melarangnya.

1. Dibolehkan dengan syarat

Dibolehkan karena pada dasarnya segala sesuatu itu boleh (mubah) kecuali ada dalil yang melarangnya. Dan memang hal ini tidak bisa dihukumi sebagai perbuatan yang haram, karena tidak adanya dalil yang eksplisit yang mengharamkannya.

Seperti halnya jimak (bersetubuh) hingga orgasme dibolehkan karena itu adalah puncak kenikmatan, maka dibolehkan pula kenikmatan-kenikmatan yang didapat (meski tidak mencapai orgasme) yaitu cumbu rayu, berpelukan, mencium hingga oral yang membuat suami-istri saling menikmati.


Allah Berfirman dalam Al Quran:

”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS. Al Baqoroh : 223)
Namun apabila oral seks ternyata telah terbukti membawa dampak bahaya bagi pasangan, seperti contoh oral seks yang mengakibatkan pasangan sakit atau tertimpa bahaya (mungkin karena kotor karena adanya najis atau adanya cairan yang berbau keluar dari farj) maka hal tersebut masuk pada kategori larangan dan tidak boleh dilakukan.


2. Makruh dan condong pada larangan.

Yang berpendapat tentang larangan oral seks dan termasuk didalam kategori tersebut adalah posisi 69 (maaf, posisi dimana pasangan saling berhadapan namun berlawanan arah kepala) karena hal tersebut menyalahi kodrat dan fitrah manusia sebagai hamba yang diberi akal fikiran yang lebih tinggi derajatnya dari binatang. Sebab manusia diberi lisan untuk membaca al Quran dan bertutur kata yang baik, maka tidak tepat jika digunakan untuk mencium ‘sesuatu’ yang bisa mengeluarkan najis (kencing, haid, madzi dst)

Tentu kita tidak akan pernah menemukan sepasang hewan yang melakukan hal tersebut, namun ternyata manusia banyak yang melakukan bahkan gemar dan menjadi cara yang populer dikalangan masyarakat saat ini.

Hal tersebut bisa terjadi karena pengaruh kehidupan masyarakat barat. Masyarakat Barat adalah masyarakat liberal (serba bebas) termasuk dalam urusan seksual. Tujuan akhir yang mereka cari hanyalah kepuasan, dalam hal ini orgasme. Jika pemanasan dalam Islam adalah agar farj istri siap dimasuki farj suami, maka Barat tidak mengharuskan jalan ini. Jika dengan dimasukkan dubur wanita/ pria atau mulut wanita/ pria bisa tercapai kepuasan, maka hal itu akan dilakukan. Itulah sebabnya kenapa posisi 69 menjadi pilihan masyarakat barat, khususnya kaum gay dan lesbian.

Jika dalam kehidupan sehari-hari saja kita dilarang untuk bersikap tasyabuh (ikut-ikutan), maka apalagi dalam masalah jimak yang mana didalamnya islam menjunjung tinggi fitrah manusia yang diberi akal fikiran, tentu dilarang pula untuk bertasyabuh dengan mereka. Wallahua’lam

Kesimpulan:

Cara seks dengan oral dan juga termasuk didalamnya posisi 69 pada hakikatnya adalah boleh.Namun meskipun hal itu mubah, tetapi lebih afdhol dan lebih baiknya ditinggalkan.

Pada dasarnya sepasang suami-istri boleh bersenang-senang dengan saling menikmati seluruh badan antara satu sama lainnya kecuali jika ada dalil yang melarangnya. Akan tetapi perbuatan tersebut tidak disukai (makruh) karena masih ada cara lain yang lebih baik dan menyenangkan.

Di lain sisi jika seks oral membawa dampak bahaya bagi pasangan, maka sudah seharusnya dijauhi karena mengingat Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam pernah  bersabda:
لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ

"Tidak boleh memulai memberi dampak buruk (mudhorot) pada orang lain, begitu pula membalasnya." (HR. Ibnu Majah no. 2340, Ad Daruquthni 3: 77, Al Baihaqi 6: 69, Al Hakim 2: 66. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih).

Oleh: Abu Syauqie Al Mujaddid (Pengasuh Solusi Islam & Islamisasi)
Artikel: www.solusiislam.com

SEKS MENURUT ISLAM : Bercumbu Dan Berciuman




Bagi kaum laki-laki, tanda tercapainya faragh sangat jelas yakni ketika jima’ sudah mencapai fase ejakulasi atau keluar mani. Namun tidak demikian halnya dengan kaum hawa’ yang kebanyakan bertipe “terlambat panas”, atau –bahkan— tidak mudah panas. Untuk itulah diperlukan berbagai strategi mempercepatnya.

Dan, salah satu unsur terpenting dari strategi pencapaian faragh adalah pendahuluan atau pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay (isti’adah). Pemanasan yang cukup dan akurat, menurut para pakar seksologi, akan mempercepat wanita mencapai faragh.

Karena dianggap amat penting, pemanasan sebelum berjima’ juga diperintahkan Rasulullah SAW. Beliau bersabda,

“Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu.” (HR. At-Tirmidzi).

Ciuman dalam hadits diatas tentu saja dalam makna yang sebenarnya. Bahkan, Rasulullah SAW, diceritakan dalam Sunan Abu Dawud, mencium bibir Aisyah dan mengulum lidahnya. Dua hadits tersebut sekaligus mendudukan ciuman antar suami istri sebagai sebuah kesunahan sebelum berjima’.

Ketika Jabir menikahi seorang janda, Rasulullah bertanya kepadanya,

 “Mengapa engkau tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercanda ria? …yang dapat saling mengigit bibir denganmu.” HR. Bukhari (nomor 5079) dan Muslim (II:1087).
.

Karena itu, pasangan suami istri hendaknya sangat memperhatikan segala unsur yang menyempurnakan fase ciuman. Baik dengan menguasai tehnik dan trik berciuman yang baik, maupun kebersihan dan kesehatan organ tubuh yang akan dipakai berciuman. Karena bisa jadi, bukannya menaikkan suhu jima’, bau mulut yang tidak segar justru akan menurunkan semangat dan hasrat pasangan.

Sedangkan rayuan yang dimaksud di atas adalah semua ucapan yang dapat memikat pasangan, menambah kemesraan dan merangsang gairah berjima’. Dalam istilah fiqih kalimat-kalimat rayuan yang merangsang disebut rafats, yang tentu saja haram diucapkan kepada selain istrinya.

Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang halal untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’. Demikian Ibnu Taymiyyah berpendapat.

Syaikh Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari,

“Diperbolehkan bagi suami istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”

Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah kualitas jima’, suami istri diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya. 

Dari Aisyah RA, ia menceritakan, 

“Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalm satu bejana…” (HR. Bukhari dan Muslim).

Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami istri mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah pasangan masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai antara pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik tersebut, agar menghasilkan efek yang maksimal saat berjima’.

Diperbolehkan bagi pasangan suami istri yang tengah berjima’ untuk mendesah. Karena desahan adalah bagian dari meningkatkan gairah. Imam As-Suyuthi meriwayatkan, ada seorang qadhi yang menggauli istrinya. Tiba-tiba sang istri meliuk dan mendesah. Sang qadhi pun menegurnya. Namun tatkala keesokan harinya sang qadhi mendatangi istrinya ia justru berkata, “Lakukan seperti yang kemarin.”